Revolusi Mindset Terhadap dan Melalui Literasi yang Komprehensif untuk Peningkatan Kualitas Bangsa di Era Informasi

Kegelisahan mulai merambah diri saya saat melihat kualitas bangsa Indonesia, khususnya generasi muda yang bersikap acuh tak acuh terhadap keadaan negaranya. Awalnya, hanya pertanyaan sederhana yang mengetuk hati; Mengapa kita dikenal sebagai generasi muda yang konsumtif, yang sehari-hari hanya dapat melontarkan pendapat yang tidak berdasarkan fakta? Mengapa mentalitas bangsa Indonesia masih sangat jauh dari ciri bangsa yang merdeka dan berkualitas tinggi?

Bila dibandingkan dengan remaja negara lainnya yang telah menciptakan inovasi dan rekayasa teknologi yang bermanfaat untuk kemanusiaan-atau yang mengekspresikan gagasan yang menggerakkan manusia menuju perubahan seperti Gretha Thunberg, seorang aktivis lingkungan berumur 16 tahun yang tidak henti-hentinya menyadarkan masyarakat dunia bahwa bumi sedang menghadapi perubahan iklim yang ekstrim akibat perbuatan manusia-atau yang mendapatkan penghargaan Nobel di usianya yang masih belia atas aksinya membela hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan seperti Malala-generasi muda Indonesia masih berkutat pada masalah kesulitan memilih dan memilah informasi mana yang hoax dan informasi mana yang layak diterima. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berlabuh pada suatu pertanyaan akhir; Dari mana dan mengapa kesadaran yang begitu besar tersebut dapat tumbuh dalam diri seseorang yang masih begitu muda? Mengapa begitu sulit bagi masyarakat Indonesia untuk bersaing dengan negara lainnya?

Jawabannya hanya satu, yaitu pendidikan. Pendidikan berakar pada literasi. Walaupun literasi secara umum dipahami sebagai kegiatan membaca dan menulis, dalam era ini seharusnya literasi sudah dapat dimaknai secara komprehensif sebagai suatu kegiatan memahami, bukan hanya sebatas kegiatan formalitas 30 menit yang diadakan sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Langkah awal untuk memulai budaya literasi adalah dengan membaca dan menulis. Dengan membaca, masyarakat Indonesia dapat melihat segala sesuatu dari perspektif baru. Dengan wawasan yang mereka dapat, akan tumbuh suatu kepekaan dan kesadaran terhadap lingkungan terutama terhadap problematika yang terjadi di Indonesia (yang dapat disebut sebagai literasi isu sosial). Membaca menumbuhkan kemampuan untuk berpikir kritis dan kreatif, yang selanjutnya membawa manusia tersebut untuk berkontemplasi, dan akhirnya menuliskan gagasannya. Gagasan yang ditulis tersebut akan menjadi aksi, di mana aksi tersebut diharapkan dapat membawa kebermanfaatan bagi masa depan Indonesia.

Umat Islam mempercayai bahwa ayat yang pertama kali diturunkan Tuhan ke Bumi (Al-Alaq) adalah ayat yang menyerukan Muhammad SAW untuk membaca. Malaikat yang turun untuk menyampaikan wahyu Tuhan tersebut memerintahkan Muhammad: “Bacalah!”. Hal ini mengindikasikan bahwa Tuhan telah memberi isyarat pada manusia tentang betapa pentingnya untuk menuntut ilmu melalui “membaca”.  Hal yang diimplikasikan tentu tidak terbatas pada membaca buku saja, namun sudah lebih jauh kepada artian membaca alam, membaca situasi, dan pada konteks tulisan ini, membaca urgensi pentingnya kegiatan literasi. Kegiatan membaca tidak hanya memberikan pengetahuan baru, tetapi juga akan menumbuhkan kesadaran manusia untuk meningkatkan kualitas kehidupan, yang termanifestasikan dalam kualitas sumber daya manusia (diri sendiri), pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Bila dibandingkan dengan minat membaca negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang, minat membaca di Indonesia masih sangat rendah. Menurut data dari Central Connecticut State University pada tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 berdasarkan minat membaca rakyatnya dan hanya membawahi Boswana, negara miskin yang tentu memiliki akses yang minim terhadap pendidikan. Padahal, pemerintah telah mengalokasikan 20% dari dana APBN untuk kepentingan pendidikan. Perpustakaan umum pun terlihat sepi, bahkan produksi koran mingguan di beberapa daerah sudah diberhentikan karena minat masyarakat untuk membaca yang rendah. Sedangkan, di Korea Selatan, perpustakaan dibuka 24 jam dengan peraturan yang ketat. Maka tidak heran apabila IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia menduduki peringkat 113 dari 188 negara. Sebab, indikator bangsa yang berkualitas adalah ilmu pengetahuan yang bangsa tersebut miliki, dan ilmu pengetahuan tersebut berasal dari kegiatan literasi yang mereka laksanakan.

Sudah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, namun lambat laun saya menyadari bahwa merdeka hanyalah status semata. Kemiskinan menjamur dimana-mana, angka kematian yang tidak seimbang dengan kelahiran, pelayanan kesehatan yang belum optimal, persebaran pendidikan yang tidak merata, hak-hak wanita dan anak yang masih tertindas. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 alinea ke-4, terdapat cita-cita luhur bangsa yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan  kesejahteraan umum. Pada realitasnya, cita-cita ini masih belum tercapai walau Indonesia telah merdeka selama 74 tahun. Pemerintah kerap mengagung-agungkan bagaimana ia akan membangun suatu peradaban tinggi dengan teknologi mutakhir, perekonomian yang kuat, infrastruktur yang megah. Namun tampaknya usaha pemerintah ini tidak tepat sasaran; pemerintah tidak menyadari bahwa masalah paling mendasar yang harus diperbaiki adalah pendidikan, karena pendidikan adalah kunci dari pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Cita-cita tersebut hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia apabila kualitas dan kemampuan sumber daya manusia tidak dapat sebanding dengan teknologi yang diciptakan.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat bahwa per tahun 2019, sebanyak 1,93% masyarakat Indonesia masih buta aksara. Fenomena ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan segera diselesaikan. Bagaimana bisa kualitas sumber daya manusia Indonesia meningkat apabila masih ada yang buta aksara? Masyarakat yang berada di garis kemiskinan umumnya memiliki mindset bahwa pendidikan adalah suatu hal yang tidak terlalu penting, karena tujuan utama mereka adalah untuk bertahan hidup. Padahal, tanpa pendidikan, tidak akan tercipta skilled labor force atau tenaga kerja yang kompeten, dengan demikian upah yang didapatkan pun berjumlah kecil. Hal ini dapat berdampak pada GDP (Gross Domestic Product) yang mengindikasikan kualitas negara Indonesia. Lagi-lagi, cara bagi manusia untuk mengetahui hak dasarnya adalah dengan literasi. Rakyat marjinal tidak akan tahu bahwa pendidikan dapat melepas belenggu mereka dari pekerjaan yang menguras waktu dan tenaga namun hanya menghasilkan upah yang tidak sepadan.

 Orang-orang bisa saja berargumen bahwa kemiskinan adalah salah satu faktor masyarakat Indonesia tidak mendapatkan pendidikan. Namun bagaimana bila mulai sekarang kita ubah mindset tersebut? Kemiskinan bukanlah suatu alasan untuk menjadi tidak berpendidikan, namun sebaliknya. Illiterasi dan kebodohan merupakan suatu jurang menuju kemiskinan dan kualitas hidup yang rendah. Hal ini tentu akan terdengar egois apabila pemerintah tidak secara tanggap mengatasi permasalahan akses pendidikan terutama ke daerah pelosok, karena masih banyak masyarakat miskin yang berjuang untuk mengenyam pendidikan. Bagaimana kemiskinan bukanlah suatu jurang menuju kebodohan dibuktikan oleh keluarga saya.  Ibu saya datang dari keluarga dengan ekonomi menengah kebawah. Namun, kakek saya yang rajin membaca buku dan memiliki pengetahuan terhadap betapa majunya negara-negara seperti Amerika, Inggris, dan Jepang pada saat itu, memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya cara untuk membebaskan keluarganya dari kemiskinan dan berjuang agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak.

 Akhirnya, ibu saya dan saudara-saudaranya dapat melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Bahkan, ibu saya adalah lulusan dari salah satu universitas terbaik yang ada di Indonesia. Dampaknya dapat saya rasakan saat ini, bagaiamana keluarga saya memiliki kualitas hidup yang tinggi yang tercerminkan dari perekonomian yang stabil dan memprioritaskan pendidikan. Tidak hanya itu, kepedulian keluarga saya terhadap kesehatan yang sangat berpengaruh pada produktivitas dalam melakukan pekerjaan sehari-hari juga sangat tinggi. Cara berpikir yang sangat berkembang seperti bagaimana perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki juga sudah ditanamkan sejak kecil oleh ibu saya. Bayangkan apabila semua masyarakat Indonesia dapat merasakan dampak pendidikan yang berakar dari literasi seperti keluarga saya. Bangsa Indonesia akan terbebas dari kungkungan kemiskinan, memiliki pemikiran yang maju, sadar akan pentingnya kesehatan, tidak akan ada lagi opresi terhadap wanita dan anak-anak. Bangsa Indonesia akan dikenal sebagai bangsa yang berkualitas tinggi.

Seharusnya perbincangan seputar revolusi industri, krisis ekonomi, hubungan internasional Indonesia dengan negara lain dapat terdengar dari sebuah warung kopi yang sederhana. Seharusnya wadah untuk mengekspresikan gagasan dalam beragam bentuk baik orasi, pembacaan puisi, presentasi essay seperti TED talk tidak jarang lagi diadakan di Indonesia, bahkan di daerah pelosok sekalipun. Seharusnya rasa keingintahuan dan empati yang tinggi terhadap fenomena yang terjadi di tanah air, problematika bangsa yang harus diatasi sudah tertanam dalam diri generasi muda Indonesia. Satu-satunya cara untuk mengekspresikan gagasan adalah dengan membaca. Membaca buku adalah salah satu gerbang bagi manusia untuk merdeka, untuk terlepas dari belenggu dangkalnya pemahaman manusia tersebut terhadap dunia. Dengan ilmu pengetahuan, akan lahir generasi yang berkualitas.

Maka dari itu, sangat penting untuk disadari bahwa kontribusi literasi sangatlah besar sebagai parameter dan pembangunan kualitas bangsa-atau memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan kualitas bangsa. Menjadi suatu bangsa yang berkualitas bukanlah suatu proses yang dapat dilalui dalam satu malam. Proses tersebut membutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang intensif. Adalah hal yang sulit untuk secara serta-merta membandingkan perkembangan sumber daya manusia Indonesia yang menjadi kunci kualitas suatu bangsa dengan negara maju lainnya, dikarenakan oleh populasi masyarakat Indonesia yang terbesar keempat di dunia dan wilayah teritorial yang begitu luasnya.

Oleh karena itu, sebelum berbicara tentang bagaimana besarnya peran literasi sebagai parameter kualitas suatu bangsa, alangkah baiknya apabila setiap pribadi manusia di Indonesia dapat menumbuhkan kesadaran atas betapa besarnya peran literasi sebagai parameter kualitas dirinya sendiri. Dengan kesadaran tersebut, perlahan-lahan akan terjadi suatu revolusi yang terjadi secara komprehensif di Indonesia. Pemerintah juga harus mendukung pergerakan ini dan memastikan bahwa revolusi tersebut dilakukan secara konsisten dan memberikan efek dalam jangka panjang, tidak sekedar menjadi semangat yang sementara. Revolusi kebiasaan literasi ini akan melahirkan masyarakat dengan pola pikir kritis, penuh gagasan, berbudi pekerti, kreatif, produktif, inovatif, sadar akan haknya, dan peka terhadap problematika yang terjadi di Indonesia. Dengan begitu, bangsa Indonesia akan mampu menjadi bangsa yang kompeten dan bersaing dengan masyarakat dunia di era informasi ini. 

DAFTAR PUSTAKA
“Jumlah Penduduk Buta Aksara Turun Menjadi 3,29 Juta”. kemdikbud.go.id. 29 Agustus 2019. 3 Desember 2019.  https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/08/jumlah-penduduk-buta-aksara-turun-menjadi-329-juta 
“World’s Most Literate Nations”. webcapp.ccsu.edu. 9 Maret 2016. 3 Desember 2019. https://webcapp.ccsu.edu/?news=1767&data
“Ranking Pembangunan Manusia Indonesia Turun ke-113”. cnnindonesia.com. 22 Maret 2017. 3 Desember 2019. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170322182446-78-202081/ranking-indeks-pembangunan-manusia-indonesia-turun-ke-113

Artikel ini meraih penghargaan sebagai Juara II dalam perlombaan esai yang diadakan oleh UIN Jakarta (Desember 2019).

Comments

Post a Comment