Indonesia dan Segala Mispersepsi Terkait Kesehatan Mental di Era Milenial: Edukasi, Bukan Romantisasi atau Stigmatisasi

Waktu berlalu, sudah tujuh puluh lima tahun sejak Indonesia merdeka dari belenggu penjajah. Para bapak pendiri bangsa bersatu-padu merumuskan harapan-harapannya terhadap bangsa yang baru saja memproklamasikan bahwa bangsanya adalah bangsa yang independen kepada dunia; termasuk harapan akan terwujudnya bangsa yang sejahtera, seperti yang telah tertorehkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945 dan yang telah termanifestasikan dalam lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.”, secuplik bagian dari komposisi karya W.R. Supratman tersebut menyiratkan bahwa guna membangun Indonesia yang maju dan sejahtera, keadaan jiwa rakyatnya tentu harus dalam keadaan stabil.

Namun, tampaknya masyarakat Indonesia hanya secara serta-merta menyanyikan lagu kebangsaan tersebut di setiap upacara bendera atau apel pagi, tanpa dengan saksama menelisik maknanya. Hal ini tercerminkan oleh data yang dirilis oleh Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) pada tahun 2018, di mana data tersebut menyatakan bahwa prevalensi masyarakat yang mengalami gangguan mental berat di Indonesia telah menyentuh angka 1.7, di mana dalam satu kelompok yang berjumlah 1000 orang, terdapat 7 orang yang mengalami gangguan mental berat seperti skizofrenia. Keadaan ini tentu dipengaruhi oleh berbagai variabel, di antaranya adalah minimnya edukasi tentang kesehatan jiwa dan mental dan pengobatan yang efektif terhadap pasien dengan masalah jiwa dan mental di Indonesia oleh badan yang berwenang, stigmatisasi yang belum pudar, serta rendahnya jumlah tenaga ahli kesehatan dan badan riset yang belum bekerja secara maksimal dalam bidang kesehatan jiwa dan mental. Hal ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan untuk ukuran negara yang sudah merdeka lebih dari 7 dekade.

Bila dipandang dari kacamata spiritual, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan tiga macam aspek, yakni raga, jiwa, dan roh. Semestinya, ketiga aspek ini bekerja secara sinergis dan mendapat perhatian yang sama besar. Namun, dikarenakan oleh minimnya edukasi terkait kesehatan mental, masyarakat Indonesia cenderung mengabaikan aspek jiwa yang sebetulnya memiliki peran yang sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari, khususnya produktivitas manusia. Salah satu hal yang paling memprihatinkan adalah fakta bahwa masyarakat Indonesia masih mempercayai bahwa penyebab dari gangguan mental adalah karena kurangnya iman atau ibadah, yang sebenarnya adalah urusan masing-masing pribadi yang tidak seharusnya dilangkahi privasinya oleh siapapun.

Memang benar adanya bahwa agama boleh jadi merupakan akar dari spiritualisme yang apabila dijalani dan dipahami dengan baik akan menciptakan suatu ketenangan jiwa. Namun, ketenangan jiwa yang didapatkan dari ritual agamis bukan berarti dapat diaplikasikan secara serta-merta kepada orang dengan gangguan mental, karena sesungguhnya banyak faktor yang menimbulkan masalah mental tersebut, termasuk faktor biologis. Ketenangan spiritual memiliki makna yang sangat berbeda dengan kesehatan mental. Sebab, bahkan orang yang tidak memiliki gangguan mental saja belum tentu bisa mencapai level ketenangan secara spiritual.

Terdapat setidaknya sepuluh jenis gangguan mental umum seperti anxiety disorder, bipolar disorder, post-traumatic stress disorder, dsb. Namun, sejauh ini,masyarakat Indonesia masih terjebak dalam tahap mengenali depresi sebagai “akibat kurang ibadah”, dan bipolar sebagai “berkepribadian ganda”, atau yang lebih parah lagi, yaitu menganggap gangguan mental sebagai “kegilaan”. Minimnya pengetahuan terhadap kesehatan mental ini lambat laun membentuk stigma dalam kalangan masyarakat, yang membuat masyarakat dengan gangguan mental enggan meminta bantuan pada tenaga kesehatan karena takut dicap gila. Bahkan, di daerah pelosok, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dipasung layaknya tawanan oleh keluarganya sendiri karena diduga telah kerasukan roh jahat dan akan mengganggu kenyamanan masyarakat.

Padahal, menurut riset yang dilakukan oleh E. Fuller Torrey pada tahun 2011, masyarakat dengan gangguan mentallah yang lebih banyak menerima kekerasan. Terlebih lagi, sayangnya stigma ini tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan tenaga kesehatan, bahkan BPJS. Pada tahun 2019, sejumlah organisasi yang peduli dengan kesehatan mental melayangkan somasi kepada BPJS karena telah melakukan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan mental, yaitu dengan mengidentikkan orang dengan gangguan mental yang tidak dirawat dengan Joker, salah satu antihero fiktif yang bersifat antagonis dan mengalami gangguan mental.

Sehausnya, literasi mengenai definisi gangguan mental beserta jenis-jenisnya wajib hukumnya untuk dilakukan oleh badan yang akurat dan kredibel seperti Kementrian Kesehatan Indonesia atau BPJS. Sebab, di era informasi zaman modern ini, berbagai informasi tersebar dimana-mana tanpa adanya sumber yang terpercaya. Akibatnya, banyak masyarakat Indonesia khususnya generasi milenial melakukan self-diagnose atau diagnosa secara mandiri tanpa bimbingan tenaga kesehatan profesional. Perlu diketahui bahwa penyakit mental bukanlah ramalan astrologi yang dapat dengan mudahnya dicocok-cocokkan dengan keadaan hati. Diagnosa penyakit mental tersebut  seharusnya melalui tahapan prosedur dengan riset yang super teliti, agar tindak lanjut yang dilakukan pun tepat sasaran dan sesuai dengan masalah yang dialami.

Self-diagnose tersebut dapat pula berujung pada romantisasi dan glorifikasi gangguan mental yang kerap kali dilakukan oleh generasi milenial saat ini. Gangguan mental yang seharusnya mendapatkan pengobatan yang serius malah dianggap sebagai sesuatu yang keren. Dengan mudahnya mengatakan dirinya bipolar apabila memiliki kepribadian yang bertolak belakang atau socially anxious apabila tidak mampu berbaur dengan orang lain. Tak jarang pula istilah gangguan mental dijadikan bahan olokan yang dapat menyakiti hati orang dengan gangguan mental yang sesungguhnya.

Perlu diketahui bahwa gangguan mental dapat dialami oleh siapapun, termasuk remaja. Pada tahun 2018, Riskesdas menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi anak di atas umur 15 tahun dengan gangguan mental sebanyak 6% menjadi 9.8%, di mana sebelumnya (tahun 2013) masih mencapai angka 3.8%. Zaman modern ini tidak sama dengan zaman dahulu. Sejak kecil, anak-anak sudah dijajal berpuluh mata pelajaran setiap harinya dengan sederet pekerjaan rumah, belum lagi segala macam bimbingan belajar yang harus diikuti. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat stress pada anak, yang dapat berujung pada gangguan mental.

Orang tua dan keluarga yang sehari-hari tinggal bersama anak sudah seharusnya memberikan moral support yang akan membantu meningkatkan suasana hati sang anak. Selain itu, orang tua juga tidak boleh abai dan meremehkan gejala-gejala gangguan mental pada sang anak hanya karena umurnya yang terlalu muda. Gejala gangguan mental (terutama depresi, yang paling sering dialami oleh generasi muda di era modern ini), sekecil apapun, harus ditindaklanjuti dengan segera.

Sama halnya seperti masalah persebaran infrastruktur, persebaran layanan kesehatan mental pun masih berpusat di pulau Jawa, khususnya Jakarta. Menurut data yang dirilis oleh PSDKJI (Perhimpunan Spesialis Dokter Kesehatan Jiwa Indonesia), jumlah dokter jiwa di Indonesia masih sangat minim bila dibandingkan dengan jumlah masyarakat Indonesia, yaitu sekitar 1000 dokter jiwa. Rumah sakit jiwa yang terletak di daerah yang dikontrol oleh pusat pun hanya tersedia di Bogor, Grogol, Magelang, dan Lawa. Beberapa RSUD masih belum memiliki poliklinik khusus pelayanan gangguan mental di beberapa daerah.

Hal ini menjadi salah satu faktor dari tingginya angka orang dengan gangguan mental di beberapa daerah seperti Aceh dan D.I. Yogyakarta yang tercatat memiliki persentase orang dengan gangguan jiwa berat tertinggi pada tahun 2013. Gangguan mental ini boleh jadi disebabkan oleh kemiskinan. Namun ironisnya, kemiskinan pula yang menjadi hambatan untuk mendapatkan layanan perawatan gangguan mental, mengingat rata-rata tarif sekali konsultasi ke psikolog atau psikiater bisa menyentuh angka empat ratus sampai enam ratus ribu rupiah.

Menurut riset yang dilakukan oleh United Nations, negara yang menduduki peringkat pertama dalam aspek kesehatan mental adalah Finlandia. Selain memiliki kualitas pendidikan terbaik, Finlandia juga merupakan negara paling bahagia di dunia (2019). Hal ini dikarenakan pemerintah yang cepat tanggap terhadap keadaan mental masyarakatnya, dan juga masyarakat yang tidak menganggap bahwa gangguan mental dan kejiwaan adalah suatu aib yang harus ditutup-tutupi. Oleh sebab itu, pemerintah harus menyadari bahwa ada suatu revolusi yang harus dilakukan dalam menghadapi masyarakat dengan gangguan mental.

Perlu dilakukan sosialisasi secara komprehensif terkait masalah kesehatan mental dan betapa pentingnya memelihara kesehatan mental, agar stigma yang telah melekat di masyarakat dapat terhapuskan dan masyarakat yang memiliki gangguan mental tidak sungkan lagi untuk mendapatkan pelayanan medis. Meningat rendahnya jumlah tenaga kesehatan dalam bidang kesehatan mental, pemerintah dapat pula menyediakan beasiswa khusus studi kesehatan mental. Pemerintah juga harus meningkatkan kualitas asuransi kesehatan agar masyarakat yang berkekurangan secara finansial dapat mendapatkan hak yang setara dalam aspek kesehatan mental. Tak hanya itu, pemerintah juga harus meminimalisir diskriminasi yang terjadi seperti kasus BPJS dan meningkatkan kinerja pusat penelitian dan pengembangan serta teknologi kejiwaan sesuai UU pasal 65 ayat 3 kesehatan jiwa yang dicetuskan Kemenkes.

Namun, hal ini tidak sepenuhnya hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat, intansi pendidikan, juga korporasi yang menaungi banyak sumber daya manusia. Kita sebagai masyarakat sosial juga harus ikut ambil andil dan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan sosial untuk melakukan aksi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Keluarga yang memiliki anggota dengan gangguan mental sebaiknya memberikan dukungan moral dan tidak dengan cepat menghakimi anggota keluarga tersebut. Begitu pula dengan instansi pendidikan. Mengingat besarnya tekanan yang didapat khususnya oleh mahasiswa, universitas sebaiknya menyediakan badan konseling untuk membimbing mahasiswanya dalam menghadapi masalah psikologis. Hal ini telah dilakukan oleh Universitas Indonesia, yang telah mencetuskan program “UI Sehat Mental” dan juga menyediakan klinik dengan tenaga psikolog dan psikiater. Perusahaan juga harus menyediakan psikolog dan memperbolehkan karyawannya beristirahat apabila mengalami gangguan secara psikologis.

Saat ini, sudah banyak pula gerakan-gerakan yang menyebarkan pengetahuan terkait kesehatan mental seperti Komunitas Save Yourselves, Yayasan Sehat Mental Indonesia, Tim Pijar Psikologi, dan juga hotline yang menjadi tempat bercerita para pasien dengan gangguan mental. Tidak hanya itu, para musisi yang menciptakan lagu yang erat dengan pentingnya memelihara kesehatan mental dan jiwa pun mulai marak, contohnya Hindia (Baskara Putra) dan Kunto Aji, musisi Indonesia, dan Stray Kids, grup musik dari Negeri Ginseng. Hindia mengaku dirinya juga pernah mengalami depresi. Hindia mengulurkan tangannya untuk membantu para pendengar musiknya dengan cara melantunkan nada dan syair yang menenangkan: “ini belum sepenuhnya, biasa saja, kamu tak apa.”. Begitu pula dengan gubahan Kunto Aji yang mengatakan bahwa rehat demi kesehatan jiwa adalah hal yang wajar, dan Stray Kids yang mengatakan bahwa butuh proses dalam berkembang secara psikologis, khususnya remaja, dan kita tak seharusnya merasa terlalu tertekan.

Dengan kerjasama dari berbagai pihak untuk menghapuskan stigma yang ada di masyarakat terkait masalah kesehatan mental, kita pun dapat menyatukan harapan dengan para Bapak pendiri bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera, dan sepenuhnya memaknai sepotong bagian pada lagu kebangsaan Indonesia Raya. 

Artikel ini meraih penghargaan sebagai Top 10 Young Journalist Award oleh Universitas Multimedia Nusantara (Maret 2020).

Comments