Maemunah, Lamakah Kau Termangu?
SISIPAN KILAT: Maemunah, Lamakah Kau Termangu?
Adalah puisi yang sebetulnya merupakan buah hati dari ketergesa-gesaan dan impromptu yang bisa dibilang sok ide. Puisi ini lahir setelah dierami selama kurang lebih satu setengah jam (pada suatu malam di tahun 2018, mungkin dua jam sebelum Cinderella kehilangan sebelah sepatu kacanya), karena sejujurnya sang guru sejarah hanya memerintahkan saya untuk "berswafoto atau berfoto di depan plang jalan dengan nama pahlawan nasional lalu rangkailah narasi untuk menceritakan kisah heroiknya". Kendati demikian, ada suatu gemuruh-entah apa-yang mendorong saya untuk menyuburkan kembali akar dari kisah yang terjerembab dan terkubur tersebut, agar ia bisa tumbuh kembali, menemui permukaan dan segera bebas. Lepas. Lantas dengan tubuh yang masih dibalut seragam kumal dan mungkin bau matahari, saya lekas merampas gawai yang sedang lelap di ujung kantung rok kedodoran, lalu merangkai narasi tentang Margonda dan merancang sampul buku untuknya agar saat saya unggah di media sosial, terlihat indah bagi mata yang melihat.
Margonda mungkin tidak sesohor Jenderal Soedirman yang mengomandoi serangan umum pada satu waktu di bulan Maret, atau Soekarno dan rekan-rekannya yang membebaskan bangsa dari belenggu penjajah. Dirinya senyap, bersahaja, namun di saat yang bersamaan meraung-raung untuk dibebaskan. Karena itulah saya memutuskan untuk bercerita, kepada khalayak, kali ini dalam bentuk puisi, berharap agar kelak anak cucu saya dapat mengetahui bahwa dirinya bukanlah fiksi yang hanya butuh romantisasi atau sedu sedan yang bersifat sementara. Ia adalah sosok yang gugur, di pertengahan malam menuju fajar, demi bangsanya yang sedang terseok-seok-sekarat-ingin merdeka dari cengkraman penjajah. Ironisnya, bahkan setelah kepergiannya, istrinya masih menunggunya di stasiun Bogor, sesuai janji mereka sebelum Margonda berangkat untuk bertempur. Sebuah visualisasi istrinya yang sedang termangu di kursi ruang tunggu entah berapa lama dengan ganas menancap lalu mengoyak-ngoyak hati saya.
Kelahiran puisi ini memang merupakan sesuatu yang tidak terduga, di dalam kandungan pun ia terus menendang-nendang, merengek ingin menghirup udara bebas. Saya masih harus banyak belajar tentang diksi, metafora, dan teori-teori puisi lainnya. Namun saya harap, ia dapat menggoreskan luka dan menjadi menyakitkan bagi siapapun yang membacanya, agar menjadi sesuatu yang terpatri secara abadi dalam memori dan tercerminkan melalui aksi.
Derap langkah susuri relung tak berujung
Kidung malang nyaring kau lantun, namun tetap tak jengah menghitung
Terukir nyata, namun ribuan pasang bola mata
Hanya singgah tak bersapa bagai netra tak berguna
Gemuruh batinmu bernapaskan sendu
Akankah waktu membunuh rindu
Akankah pula ada jawab untuk tanyamu
Janji untuk bertemu di ujung stasiun itu
Sudikah kiranya ia menepati risalah waktu?
Berbisik sukmamu padaNya, adakah makna dari semua cariku?
Apakah hidup ini adalah sebuah konfigurasi alam semesta?
Ataukah memang hanya ditakdirkan untuk hidup sebatang kara?
Maemunah, sungguh malang bukan kepalang!
Semuanya rahasiakan dari engkau!
Sungguh pilu nasibmu, Maemunah!
Waktu tak pernah tergesa barang siapa tunggu ia
Waktu tak pernah menunggu barang siapa kian bahagia
Serangan kilat menghujam asa bersatu bangsa
Jiwa yang tegar tak pernah rapuh untuk tegak menantang masa
Sejak semburat jingga menyambut fajar hingga rembulan menutup malam
Tetes darah dan keringat tak menjadi siasat untuk terdiam
Hingga saatnya fana tak lagi menjadi nyata
Belahan jiwa yang kau tunggu telah gugur bertaruh nyawa
Bagimu yang patah menjadi layu dan yang hilang akan mati
Menjadi jawab bagi tanyamu yang selama ini kau nanti
Engkau akan dikenang, engkau akan dikenang! Sukmamu mewanti diri
Walau kini bunga telah gugur namun pusara tiada yang ketahui
Maemunah, lamakah kau termangu?
2018
Puisi ini berhasil meraih juara ketiga dalam perlombaan menulis puisi nasional yang diadakan oleh Ruang Kreasi (2020). Cerita lengkap terkait gegap gempita dan haru yang dirasa dapat diakses melalui tautan:
truthful and awesome!
ReplyDeleteLeft me in awe!
ReplyDelete